Rabu, 10 Desember 2008

NATAL GMI DISTRIK 1 WILAYAH 2 TAHUN 2008

Pada acara Natal Bersama Keluarga Besar GMI Distrik 1 Wilayah 2, selain beragam acara yang ditampilkan, juga tampil siswa-siswi Sekolah Methodist 2 Palembang. Mereka membawakan instrumen Natal melalui pianika dan sebuah lagu berbahasa Natal berbahasa mandarin. Dengan gerakan yang kompak dan gaya khas anak-anak, penampilan mereka menambah kebahagiaan dan kehangatan perayaan natal malam itu. Terus maju dan terus bekarya. (SG).

Jumat, 31 Oktober 2008

The Gideons Bagi Alkitab

THE GIDEONS INTERNATIONAL
BAGI ALKITAB DI METHODIST-2


Pada hari Sabtu, 25 Oktober 2008, Sekolah Methodist 2 kedatangan tamu dari The Gideons International. The Gideoan adalah suatu lembaga internasional yang telah berdiri sejak tahun 1899, di mana mereka bersaksi, melayani, dan membagi Alkitab di seluruh dunia. Kali ini mereka benar-banar "Internationl", karena yang datang di sekolah kita juga ada bulenya, yaitu dr. Steven Hanson MD (Region 7 Field Officer) dari Gideons International.

Pembagian Alkitab dilakukan kepada anak-anak SMP Kelas VII dan SMA Kelas X langsung oleh dr. Steven Hanson MD. Beliau didampingi oleh Jeff F. Papilaya, SE., dari perwakilan Indonesia serta Tim The Gideon Palembang, di antaranya Titi Gunadi (ketua) dan David Jerry (sekretaris).

Usai pembagian Alkitab, siswa-siswi, baik SMP maupun SMA, berebut photo bareng dengan Mr. Steven. "Kapan lagi photo sama bule, apalagi yang tingginya 2 meter...," seru mereka. Lihat tuh, Mr. Steven harus jongkok, biar sama dengan kalian.



Ayo, tunjukkan Alkitabmu.... firmanKu yang keluar dari mulutKU, ia tidak akan kembali kepadaKu dengan sia-sia ... ok!
Pimpinan Perguruan, Pdt. Sadikin Gunawan dan Kepala Sekolah SMP Bpk. Andar Rusnawan, photo bareng dengan tim dari The Gideons Int.

Selasa, 28 Oktober 2008

Grow Old Atau Grow Up?

Bertambah usia dan menjadi tua, adalah proses normal kehidupan seorang manusia. Baru-baru ini sebuah situs internet memuat berita tentang seorang pesepak bola tersohor David Beckham, dengan judul “David Beckham Takut Menjadi Tua”. Bagi David Beckham, menjadi tua adalah sebuah hal yang menakutkan. Beckham sangat takut, suatu saat dirinya akan menjadi tua, botak dan gemuk. Saat ini, Beckham telah memiliki suatu perasaan kehilangan masa-masa mudanya seperti dahulu. Kini, setelah memiliki 3 orang anak dari sang isteri, Victoria Beckham, dirinya merasa sangat tua dari usianya saat ini. Namun, Beckham selalu membunuh perasaan tersebut dengan cara-cara tertentu, antara lain, selalu ke pusat kebugaran dan melakukan diet ketat, agar postur badannya tidak berubah meskipun menjadi tua. Victoria Beckham, sebenarnya tidak terlalu mempermasalahkan apa yang akan terjadi dengan suaminya di hari tua nanti. Tapi menurutnya, Beckham terlalu paranoid terhadap dirinya sendiri, dan itu membuat Beckham seperti orang yang kehilangan kendali.

Berbeda dengan Beckham, beberapa hari yang lalu saya bertemu dengan seorang pendeta Methodist yang telah berusia 77 tahun. Memang beliau tampak tua, botak dan gemuk, tetapi beliau tetap sehat dan sampai saat ini masih aktif melayani Tuhan. Dari gaya bicaranya, saya melihat beliau tetap atusias untuk menjalani hidup ini. Saya sendiri berpikir apakah saya bisa mencapai usia yang demikian dengan tetap memiliki tubuh yang sehat dan tetap dapat aktif melayani Tuhan?

Memang banyak orang takut menjadi tua, bahkan tidak mau mengakui bahwa mereka sudah tua. Sampai usia 50-an banyak orang yang masih beranggapan bahwa ia masih muda, tetapi begitu masuk usia 60, dan gereja mengumumkan bahwa mereka yang berusia 60 tahun ke atas diharapkan menghadiri kebaktian komisi lansia. Sehingga tidak sedikit mereka yang tidak mau menghadiri kebaktian komisi lansia, karena takut dianggap sudah tua atau “lansia”. Atau ada orang yang menganggap kalau sudah mencapai usia 65 tahun itu berarti, “saya sudah tua!” Paul Gunadi mengatakan bahwa sesungguhnya kita telah mengalami proses penuaan hari lepas hari, tahun demi tahun.

Ada satu pepatah yang mengatakan, “Menjadi tua itu pasti, menjadi dewasa adalah pilihan.” Menjadi tua dan menjadi dewasa tentu adalah dua hal yang berbeda. Pertanyaan bagi kita adalah: “Apakah kita hanya bertambah tua (grow old), atau juga bertambah dewasa (grow up)?” Untuk menjadi dewasa tentu harus ada usaha dan itu suatu keharusan. Banyak sekali masalah yang tidak dapat diselesaikan “tanpa kedewasaan sikap”, padahal, hidup yang kita jalani ini haruslah dapat memberi makna. Kedewasaan tidak terkait sama sekali dengan masalah umur. Meskipun sering terdengar ungkapan bahwa orang tua lebih bijak. Seiring dengan bertambahnya usia kita, Paulus mengingatkan kita untuk meninggalkan sifat kanak-kanak itu (1 Kor 13:11), dan mengharapkan kita menjadi dewasa dalam Kristus! Jangan hanya menjadi tua, tetapi kita harus menjadi dewasa. Orang tua memang akan semakin lemah secara fisik, tetapi mereka seharusnya menjadi kuat dalam iman. Masa tua adalah masa yang makin mendekati perjumpaan dengan Tuhan, jadi bersiap-siaplah, jangan datang kepada Tuhan dengan tangan hampa. Pemazmur mengatakan, "Mereka berjalan makin lama makin kuat, hendak menghadap Allah di Sion." (Mzm 84:8). Memang fisik makin melemah, tapi seperti Paulus katakan manusia batiniahku diperkuat. Makin hari berjalan bukan makin lemah tapi makin kuat karena kita berjalan hendak menghadap Allah di Sion. Sampai bertemu di Sion!
Pdt. Sadikin Gunawan (Majalah GEMA Methodist Wilayah 2 Ed.X)

Selasa, 09 September 2008

Pengalaman John Wesley dalam Pendidikan[1]

1. Riwayat Pendidikan John Wesley

a. Sekolah di Dapur

Gereja Methodist termasuk salah satu gereja Protestan walaupun tidak secara langsung berasal dari gerakan Reformasi. Pendirinya adalah John Wesley seorang pendeta Anglikan. Ia seorang yang saleh dan pengkhotbah yang bersemangat serta pemimpin gerakan kebangunan rohani pada abad ke-18 di Inggris. Pada awal dan pertengahan abad itu kehidupan rohani sangat merosot, sehingga banyak warga jemaat mengabaikan kebaktian dan pemimpin gereja tidak dihiraukan lagi.

Dalam situasi demikian John Wesley dilahirkan di Epworth pada tanggal 17 Juni 1703. Ayahnya bernama Samuel Wesley dan ibunya Susana Wesley. Samuel Wesley adalah seorang pendeta dari Gereja Anglikan yang ditempatkan untuk melayani jemaat kecil di Epsworth sejak bulan Februari 1697 sampai ia meninggal dunia pada tahun 1735. Di Epworth belum ada sekolah yang diasuh oleh gereja maupun oleh pemerintah. Hal ini membuat Samuel Wesley kecewa. Ke manakah anak-anaknya akan di sekolahkan? Dikirim ke tempat lain bagaimana mengenai biaya? Seandainya ada biaya, apakah anak-anak yang masih kecil itu sudah sanggup berpisah dengan orang tuanya? Hal ini menjadi pergumulan bagi keluarga Samuel Wesley. Untuk mengatasi masalah pendidikan ini maka Susana Wesley, seorang wanita terpelajar, mengambil alih tanggung jawab tersebut bagi anak-anaknya. Susanna membuka sekolah kecil di dapur rumahnya sendiri, sehingga dengan demikian tugas dan tanggung jawab dalam rumah tangga dapat dikerjakan. Sekali-sekali Susanna dibantu suaminya. Sekolah kecil ini sering disebut sekolah dapur (School in the Kitchen).

Pada hari pertama mereka mempelajari abjad kemudian membaca. Waktu belajar ditetapkan mulai pukul sembilan sampai pukul dua belas siang. Kemudian pada sore hari mulai pukul dua sampai pukul pukul lima. Setelah membaca dan berhitung mereka diajar mengenai pengetahuan tentang Alkitab, Sejarah Dunia, Sejarah para Misionaris dan sejarah tentang hal-hal yang diperbuat Allah bagi mereka[2]. Secara khusus bagi setiap anak, Susanna menyisihkan waktunya satu jam seminggu untuk berdoa dan bercakap-cakap mengenai kerohanian mereka.[3] Selain itu Susanna selalu menyesuaikan kurikulum di “sekolah dapur” ini dengan sekolah-sekolah formal yang ada untuk menjaga agar anak-anaknya tidak kaku bila mereka melanjutkan pendidikannya ke tempat lain.

b. Melanjutkan pelajaran ke London

1. Charterhouse School
Setelah John Wesley menyelesaikan pelajarannya di “School in the Kitchen” di Epworth, maka pada tahun 1714 ia melanjutkan pelajarannya di Charterhouse School di London. Pada umumnya siswa-siswi di sekolah ini hidup melarat, oleh sebab itu ia harus menderita karena sebagai anak laki-laki yang lebih tua maka ia wajib membagi-bagi makanan daging miliknya kepada anak-anak yang lebih muda, sehingga ia hanya memakan roti yang keras. Namun demikian ia tetap sehat, karena ia selalu mengikuti nasehat orong tuanya untuk berolahraga setiap pagi di pekarangan sekolah. Pengalaman ini sangat berkesan bagi John Wesley sehingga begitu mencintai sekolah tersebut. Selama hidupnya, John selalu berusaha mengunjungi sekolah ini paling sedikit sekali setahun.

2. Christ Church College Oxford
Pada tahun 1720, John Wesley melanjutkan pendidikannya ke Perguruan Tinggi di Christ Church College Oxford University. Situasi Oxford pada awal abad ke-18 kurang mendukung peningkatan mutu dan perkembangan kerohanian mahasiswa. Kegairahan belajar dan kegiatan olahraga tidak ada, sehingga Oxford menjadi hal yang kurang menarik di seluruh Inggris. Fitchett mengatakan “Oxford at the beginning of the eighteenth century was perhaps the most prosaic patch in the whole drab – colored English landscape.” Dalam situasi demikian John Wesley harus memasuki perguruan tersebut. Bagaimana ia menghadapi situasi demikian? Akan tetapi, berkat nasehat ayahnya yang selalu diterimanya melalui surat, maka John Wesley dapat mengatasinya, sehingga ia dapat berhasil meraih gelar Sarjana Muda dan ditahbiskan menjadi Pendeta Muda pada tanggal 19 September 1725 oleh Bishop Potter. Dan pada tanggal 14 Februari 1727 ia diwisuda menjadi sarjana lengkap dan ditahbiskan menjadi Pendeta Tua pada tanggal 22 September 1728. Kemudian Bishop Potter menempatkannya menjadi imam pembantu pada ayahnya di Epworth karena kesehatan ayahnya mulai menurun.

2. Lahirnya Gereja Methodist

a. Timbulnya Kelompok Methodist

Setelah beberapa lama membantu ayahnya di Epworth, maka pada tahun 1729 John Wesley menerima panggilan yang sangat mendesak dari Dr. Morley, rektor Lincoln College Oxford sebagai ketua seminar-seminar di perguruan tersebut. Tugas ini dijabatnya sejak tanggal 22 November 1729 sampai keberangkatannya ke Georgia bulan Oktober 1735. Pengalamannya sebagai ketua atau moderator dalam seminar-seminar ini sangat membantunya dalam kepemimpinannya di kemudian hari.

Kemudian ia membentuk kelompok yang terdiri dari para sarjana. Mereka yang menjadi anggota kelompok ini antara lain, Charles Wesley, George Whitefield, Benjamin Ingham, James Harvey, John Wesley sendiri bersama 12 orang lainnya. Pertemuan pertama diadakan pada hari Minggu di rumah John Wesley sendiri. Kemudian secara bertahap akhirnya mengadakan pertemuan setiap malam. Mereka mempelajari bahasa asli dari Alkitab, mengunjungi orang sakit, berkhotbah ke penjara dan di muka kaum buruh untuk mengusahakan sekolah bagi anak-anak miskin, dan mengusahakan pengumpulan dana untuk pekerjaan amal. Setiap hari Rabu dan Jumat mereka berpuasa, kemudian pada hari Minggu diadakan pelayanan Sakramen. Setiap anggota kelompok harus mengikuti peraturan atau disiplin yang telah ditetapkan bersama.
Sehubungan dengan metode dan cara-cara kelompok ini sangat menyolok di kampus universitas, maka banyak di antara mahasiswa dan masyarakat yang mengejek kelompok ini. Banyak diantara orang mengejek dengan menyebutnya sebagai “Holy Club, Bible Moths, Godly Club, Suppererogation Men, Sacra Mentalisth, Methodist dan Reform Club.” Pada tahun 1735 kelompok ini resmi dikenal sebagai kelompok Methodist Oxford. Pengalaman ini mendorong perhatian John Wesley lebih tertuju kepada pendidikan dengan menulis buku-buku pelajaran yang diperlukan murid-murid.

b. John Welsey diutus ke Amerika

Sebelum Samuel Wesley meninggal pada tanggal 25 April 1735, pesannya yang terakhir kepada anaknya John Wesley sebagai berikut: “Bersaksilah dengan sungguh-sungguh anakku, bersaksilah, itulah bukti nyata dari keKristenan” John Wesley mengatakan bahwa ia tidak dapat melaksanakan tugas itu, tetapi kemudian hari ia mengerti akan pesan ayahnya itu. Kemudian John Wesley pergi ke London untuk menyerahkan salinan tafsiran buku Ayub yang ditulis Samuel sebelum meninggal kepada Ratu Inggris.

Tidak berapa lama kemudian Kolonel James Edward Ogle Thorpe yang mengorganisir koloni Inggris di Georgia sedang berada di London. Ia menemui Dr. John Burton dari Corpus Christi College untuk berkenan mencari beberapa orang yang bersedia menjadi pemimpin kebaktian (chaplin) di koloni Inggris tersebut. Dr. John Burton menghubungi John Wesley dan memberitahukan tugas mulia ini. John menyambutnya serta memberitahukannya kepada temannya dan ibunya yang tercinta. Ibunya mengatakan kepada John : Saya mempunyao 20 orang anak, saya gembira bahwa mereka semuanya telah bekerja, meskipun saya tidak pernah melihat mereka lagi.

Setelah mendapat restu dari ibunya, maka The Society for Propagation of the Gospel in Foreign Parts mengutus John Wesley sebagai penginjil ke Amerika Utara. Ia berangkat bersama dengan tiga orang anggota Holy Club yang dipimpinnya yaitu Benjamin Ingham, Charles Delamotte dan Charles Wesley. Mereka berangkat pada atnggal 13 Oktober 1735 dan tiba di Amerika paa tanggal 5 Februari 1736.

Pada bulan April 1736 diadakanlah perkumpulan di Savannah Georgia yang dihadiri 20 sampai 30 orang di rumah John Wesley sendiri untuk mendengarkan firman Tuhan. Perkumpulan ini dinamai Perkumpulan orang-orang Methodist. Karena perbedaan status maka mereka ditolak orang-orang Indian yang ada di sana, sehingga mereka mengarahkan perhatian kepada orang-orang Inggris saja. Pada tahun 1736 John Wesley membuka dan mengorganisir sebuah sekolah kecil dan kebaktiannya dalam bahasa Inggris, Jerman, Perancis, Spanyol, dan Italia. Ia menetapkan Charles Delamotte untuk memimpin sekolah tersebut. Sedangkan Benjamin Ingham dan Charles Wesley disuruh ke Frederica. Di Savannah, John Wesley sangat gigih mengkhotbahkan panghapusan perbudakan, sebab itu ia kurang disenangi oleh orang-orang Inggris yang memiliki banyak budak. Ia ditolak dan akhirnya harus kembali ke Inggris pada tanggal 1 Pebruari 1738. Oleh sebab itu ia mulai menulis catatan harian (jurnal) yang kemudian sangat berguna sebagai dokumen sejarah.

c. John Wesley mengalami hidup baru

Dalam kehidupannya John Wesley selalu bergumul untuk mencari jaminan keselamatan dengan pengalaman dan pelayanan serta perkenalannya dengan orang-orang Moravian bersama Bishop David Nitchman diatas kapal yang ditumpanginya dan yang hampir tengelam karena dipukul karena dipukul ombak dan badai. Pada waktu itu ia merasa takut sedangkan orang Moravian tidak takut sedikitpun. Ia mulai sadar bahwa ia sendiri belum sungguh-sungguh percaya kepada Allah.

Pada tanggal 1 Mei 1738 sekitar 40 sampai 50 orang temannya sepakat mengadakan pertemuan setiap hari Rabu sore dengan percakapan bebas dan kebaktian. Persekutuan ini disebut persekutuan Methodist. Pada hari Rabu pagi tanggal 24 Mei 1738 John Wesley membuka Alkitab dan menemukan ayat yang berbunyi: “Engkau tidak jauh dari Kerajaan Allah” (Markus 12:34). Nats ini menjadi petunjuk baginya bahwa Tuhan dan kerajaanNya tidak jauh dari orang-orang yang mencarinya. Pada sore harinya ia pergi ke gereja St. Paul’s Chatedral. Ia mendengar lagu-lagu rohani yang berkumandang yang menggambarkan kesenangan hidup di dalam Tuhan. Kemudian pada malam harinya dengan perasaan berat John Wesley menghadiri persekutuan orang-orang Methodist yang dilaksana-kan di Aldersgate Street. Pemimpin kebaktian membacakan pendahuluan buku tafsir surat kiriman Rasul Paulus kepada jemaat di Roma yang ditulis oleh Marthin Luther, “Melalui iman kepada Kristus, manusia dibenarkan Allah”.
Pada saaat pembicaraan berlangsung, hati John Wesley mulai hangat, sehingga kira-kira pada pukul 20.45 ia mengatakan: “Saya merasa bahwa saya sungguh-sungguh percaya kepada Kristus, hanya Kristus saja keselamatan, bahkan dosa-dosa saya pun Kristus hapuskan dan Ialah yang menyelamatkan saya dari kuasa dosa dan maut” (I felt my heart strangely warmed. I felt I did trust in Christ, Christ alone, for salvation, and an assurance was given me that He had taken away my sins, even mine, and save me from the law of sin and death).
Setelah John Wesley mengalami hidup baru, maka ia mendoakan orang-orang yang pernah menganiaya dan mengejeknya. Ia membina persaudaraan dengan orang-orang yang dijumpainya. Dengan penuh kegembiraan dalam iman ia menyaksikan dan memberitakan firman Tuhan. Ia mendorong semua orang untuk mengenal Kristus secara pribadi. Ia mendesak orang Kristen untuk mendisiplinkan diri, karena disiplin diri adalah proses menuju kedewasaan iman Kristen. Ia mengumpulkan orang-orang dalam kelompok doa yang merupakan hakekat gerakan permulaan Methodist. Kelompok-kelompok doa ini bertumbuh menjadi jemaat. Pengalaman hidup baru ini diberitahukan-nya kepada teman-temannya dan kepada adiknya Charles Wesley, kemudian disebarluaskan ke seluruh Inggris, Irlandia, dan Amerika.
Suatu hal yang perlu diingat bahwa dalam kegiatan penginjilan, John Wesley menekankan dua hal yang diwarisi dalam kehidupan Methodist sampai sekarang ialah mengabarkan Injil kepada orang-orang miskin yang tidak dilayani gereja dan melayani serta memelihara mereka yang sudah Kristen dalam hidup kekristenan. John Wesley mengumpulkan mereka dalam suatu kelompok, kelas dan menetapkan pemimpin mereka sendiri (Lay Leader). Mereka yang tergabung dalam kelompok atau kelas diwajibkan mengabarkan Injil di tepi-tepi jalan, lapangan terbuka dan rumah-rumah. Selanjutnya ia mengangkat dan menetapkan pengkhotbah awam (Lay Preacher), membimbing dan mengawasi mereka. Sekali setahun mereka dikumpulkan dalam suatu konferensi untuk mengevaluasi semua pelayanan mereka serta menetapkan strategi pelayanan tahun berikutnya. Ia mengajak agar setiap orang percaya turut memberitakan keselamatan itu kepada semua orang.

d. Gereja Methodist dan Pendidikan

Pada tahun 1740, Whitefield mendirikan sebuah sekolah di Kingswood yang kemudian langsung dikelola John Wesley dan menempatkan John Cennick sebagai gurunya. Sekolah ini berkembang sejajar dengan perkembangan jemaat. Tujuan pendirian sekolah bukan hanya bertujuan membentuk manusia berilmu tetapi juga membentuk manusia beriman. Sebab itu dalam segala kegiatan pelayanan, John Wesley yang kemudian diwarisi Gereja Methodist bahwa selalu mempersatukan tiga kegiatan yang tidak terpisahkan satu dengan yang lain. Kegiatan tersebut adalah Evangelisasi, Organisasi/Administrasi dan Pendidikan. Baru kemudian timbul kegiatan keempat yaitu bidang kesehatan. Dengan demikian sekolah merupakan bagian integral dari gereja Methodist. John Wesley menyadari bahwa hubungan pemberitaan firman dengan pendidikan sangat erat sehingga dapat dikatakan bahwa kekristenan adalah ibu atau sumber Pendidikan (Christianity is the mother of Education). Oleh sebab itu pendidikan merupakan bagian integral dan menjadi pokok tradisi Methodist sehingga menjadi perhatian yang sungguh-sungguh untuk pembukaan sekolah dalam kehidupan bangsa. John Wesley mengatakan dalam suatu Konferensi agar semua pengkhotbah berusaha memajukan sekolah. Setiap pengkhotbah, guru injil dan pendeta yang tidak mau mengkhotbahkan dan memajukan pendidikan, ia tidak layak disebut sebagai pengkhotbah Methodist.

Suara tersebut terus bekerja dalam hati pekerja-pekerja Methodist sampai ke Amerika. Sebelum Gereja Methodist Episcopal diorganisir secara mantap di Amerika semangat Ausbury untuk pendidikan dinyatakan dalam pembukaan Ebenezer Academy di bagian Selatan dari Brunskwick Country Virginia. Perhatian Thomas Coke dalam pendidikan mendorongnya menjadikan pendidikan bagian dari rencana organisasi gereja dan pendirian sekolah hendaknya mirip dengan rencana sekolah yang di Kongswood Inggris.

Pada mulanya sekolah Methodist didirikan di tempat Bishop berdomisili, tetapi kemudian dianjurkan supaya setiap gereja mendirikan sekolah. Dalam Konferensi Agung pada tahun 1820 diambil suatu keputusan yang lebih konkrit lagi, agar setiap Konferensi Tahunan (Konta) sesegera mungkin mendirikan sekolah-sekolah di bawah pengawasan Konferensi tahunan bersangkutan. Dengan adanya keputusan tersebut maka berdirilah beberapa sekolah Methodist seperti: Centenary College, Jackson Alabama, La Grange College La Grange Alabama, 1831, Wesleyan University, Middletown Connecticut 1831, Emory and Henry College, Emory Virginia 1838, Wesleyan Female College, Macon Georgia 1839, Worthington Ohio 1839, and Wesleyan Female College, Wilmington Delaware 1841, dll.

[1] Bab ini dikutip dari Buku “85 Tahun Pendidikan Methodist di Indonesia” karangan Pdt. A. Sihombing, S.Th., yang diterbitkan tahun 1993, hal.4-10, dengan beberapa pengeditan dan tambahan oleh penulis.
[2] Dikutip oleh Pdt. A. Sihombing, S.Th. dari Mansell, H.B., Netherland Indies Mission Conference, Buitenzorg, 1919, hal.22.
[3] Dikutip oleh Pdt. A. Sihombing, S.Th. dari Freeman Mark, Netherland Indies Mission Conference, Buitenzorg, 1925, hal.254.

Senin, 08 September 2008

Seminar Sex Education di Methodist 2 Palembang





Biasanya siswa-siswi akan malu-malu bicara tentang sex, akan tatapi kali ini di Sekolah Methodist 2 Palembang pada tanggal 4-5 Agustus 2008, Dr. Andik Wijaya, M.Rep.Med, Founder of Yadainstitute, membawa siswa lebih mengetahui tentang hal-hal ini dari sisi positif. Dokter Spesialis dan juga seorang hamba Tuhan yang memiliki karunia pengajaran ini membawa siswa lebih memahami tentang transformasi prilaku seksual. Pokoknya 'ati-ati' deh dengan yang satu ini, inget-inget harus untuk selalu takut akan Tuhan. Ok!